HERMENEUTIKA
SEBAGAI PRODUK PANDANGAN HIDUP
Pendahuluan
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan
mitologi Yunani. Ia kemudian di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini
berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut
latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, eknomi dan lain-lain. Oleh
sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan
latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat. Makalah ini akan
membuktikan bahwa hermeneutika hermeneutika adalah ilmu yang merupakan produk
dari pandangan hidup dan peradaban tersebut.
Mengapa pandangan hidup?
Mengapa kita perlu melihat hermeneutika
dalam konteks pandangan hidup? Sebab setiap ilmu, konsep atau teori, termasuk
hermeneutika, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki
peradaban dan pandangan hidup (worldview). Pandangan hidup suatu
masyarakat adalah cara pandang mereka terhadap alam dan kehidupan. Ada beberapa faktor
penting dalam padangan hidup manusia, dan yang terpenting adalah faktor
kepercayaan terhadap Tuhan. Faktor ini penting karena mempunyai implikasi
konseptual. Masyarakat atau bangsa yang percaya pada wujud Tuhan akan memiliki
pandangan hidup berbeda dari yang tidak percaya pada Tuhan. Dalam buku Thinking
Critically about Philosophical Problem, Thomas F Wall, menyebutkan bahwa
Tuhan adalah:
the most important element in any
worldview. …if we are consistent, we will also believe that the source of moral
values is not just human convention but divine will and that God is the highest
value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than
what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world.[1]
Implikasi negatifnya berarti bahwa bagi masyarakat yang tidak percaya
pada Tuhan nilai moralitas adalah kesepakatan manusia (human convention),
yang standarnya adalah kebiasaan, adat, norma atau sekedar kepantasan.
Demikian pula realitas hanyalah fakta-fakta yang bersifat empiris yang dapat
diindera atau difahami oleh akal sebagai kebenaran. Kekuatan disebalik realitas
empiris, bagi mereka, tidak riel dan tidak dapat difahami dan dibuktikan kebenarannya
meskipun sejatinya akal dapat memahaminya.
Pandangan
hidup dalam Islam tidak hanya sebatas pandangan terhadap alam dan kehidupan nyata,
tapi keseluruhan realitas wujud, yang oleh al-Attas di definisikan
sebagai ru’yatal-Islam li al-wujud. Karena wujud Tuhan adalah wujud yang
mutlak dan tertinggi sedangkan alam semesta seisinya adalah bagian dari wujud
itu, maka konsep Tuhan sangat sentral dalam pandangan hidup Islam dan sudah
tentu memiliki konsekuensi konseptualnya.
Namun tidak
semua masyarakat yang percaya pada Tuhan memiliki worldview yang
sama. Sebab konsep dan pengertian Tuhan
berbeda antara satu agama dengan agama lain. Konsep inilah sebenarnya yang
membedakan karakateristik dan elemen pandangan hidup antara suatu bangsa dengan
bangsa lain. Elemen pandangan hidup Islam seperti yang diformulasikan al-Attas,
misalnya, terdiri dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan, konsep
psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai
dan kebajikan, konsep kebahagiaan dsb. Dari elemen-elemen ini dapat diketahui
dengan mudah konsep moralitas dan ilmu, dan bahkan peran elemen-elemen itu
dalam menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development)
dan kemajuan (progess) dalam Islam.[2]
Bagaimana
pandangan hidup suatu peradaban dapat melahirkan suatu ilmu (science),
telah dikaji secara mendasar oleh Alparslan dalam buku Islamic Science Towards
a Definition. Dalam buku ini ditegaskan bahwa “ilmu hanya lahir dari
pandangan hidup tertentu saja” (science arises within certain worldview only),
meskipun ada pandangan hidup yang tidak dapat melahirkan ilmu.[3]
Dalam teorinya, Alparslan menjelaskan bahwa suatu ilmu lahir didorong oleh tiga
faktor penting yaitu:
1) Adanya komunitas ilmuwan yang memiliki pandangan hidup yang pada
dataran konsep mereka memiliki apa yang disebut “lingkungan konseptual:” (conceptual
environment).
2) Adanya keterkaitan (network) antara satu konsep dengan konsep
keilmuan yang lain yang membentuk apa yang disebut sebagai “kerangka konsep
keilmuan” (scientific conceptual scheme)
3) Dari adanya keterkaitan konsep itu terjadilah suatu ‘cara pandang” (outlook)
terhadap sesuatu yang pada gilirannya akan menghasilkan saling hubungan
antara satu dengan kosa-kata teknis (technical vocabulary) lainnya.[4]
Meskipun terdapat proses kelahiran yang lebih detail lagi namun
proses diatas telah cukup untuk menguji bagaimana hermeneutika sebagai ilmu
lahir dari pandangan hidup (worldview).
Untuk itu sebaiknya kita lihat bagaimana milieu masyarakat dimana teori
hermeneutika berkembang. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa suatu ilmu lahir
dengan diawali oleh adanya komunitas ilmuwan yang membentuk sebuah lingkungan,
demikian pula hermenetika. Werner menyebutkan tiga milieu penting yang
berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori
interpretasi:
Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Kedua milieu
masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama
mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu.
Ketiga milieu masyarakat Eropah di zaman Pencerahan (Enlightenment)
berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika
keluar konteks keagamaan.[5]
Ketiga milieu penting ini bukan satu komunitas tapi lebih merupakan
komunitas-komunitas yang secara periodik mengiringi perkembangan hermeneutika.
Oleh sebab itu dengan menggunakan data tentang milllieu yang mengitari
perkembangan hermeneutika seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas kita
dapat menggambarkan pengaruh pandangan hidup terhadap perkembangan hermeneutika
dalam tiga fase yaitu: pertama dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi
dan Kristen dan kedua dari teologi Kristen yang problematik kepada
gerakan rasionalisasi dan filsafat. Ketiga dari hermeneutika filosofis
menjadi filsafat hermeneutika. Dari ketiga fase tersebut akan dilihat
terjadinya perubahan pandangan hidup masyarakat dan pergeseran makna konseptual
hermeneutika.
Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen
Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat
suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi.
Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa
Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai
utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama
Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan. Konsep ini resminya
digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi
teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya
epik-epik karya Homer. Tapi sebenarnya dibalik itu terdapat kepecayaan bahwa
dalam perkataan manusia sekalipun mengandung inspirasi Tuhan (divine
inspiration). Kepercayaan seperti ini merupakan refeleksi dari suatu
pandangan hidup. Tapi tuhan dalam mitologi Yunani banyak jumlahnya. Aristotle,
misalnya mengatakan bahwa Tuhan yang dijuluki Unomoved Mover
(menggerakkan tapi tidak bergerak) itu kuantitasnya satu secara absolute,
tapi jumlahnya 55.[6]
Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi
Yunani, namun istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya
Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam
Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya
“menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa
secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika.
Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang
otoritas kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat difahami oleh “nabi”.
Nabi disini maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia. Fungsi
mediator inilah yang menghubungkan secara etymologis antara rumpun semantik hemeneus
dan dewa perantara Hermes.
Melihat sekilas konsep otoritas dan kenabian Plato orang dapat saja
berspekulasi bahwa Plato pernah bersentuhan dengan ide-ide ini di Timur Tengah.
Namun, spekulasi ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Dalam
menghadapi problema terjadinya krisis otoritas dikalangan penyair dalam
memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat
Yunani menyelesaikan dengan konsep rational logos.[7]
Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi
alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam
dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi
alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer
logos (inner word and outer word).
Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of
Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak
metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu intinya
mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks
atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu
diluar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan kedalam
pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M) telah berhasil
menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini. Teorinya tentang
tiga lapis makna dalam Bible yang sangat terkenal itu dikembangkan oleh
Johannes Cassianus (360-430 M) menjadi empat lapis makna yaitu: literal atau
historis, alegoris, moral, dan anagogis (spiritual).
Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang
membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch.
Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan
pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada
dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah
bayang-bayang hermeneutika Aristotle. Konsep hermeneutika Aristotle (384-322
SM) melalui karyanya berjudul Peri hermeneias (Latin: De
Interpretatione) itu sebenarnya ada sebelum Stoic, tapi kalangan Kristen
menganggap karya-karya Aristotle yang lebih menekankan pada logika dan semantik
ini berbahaya bagi keimanan Kristen. Perlu dicatat bahwa diawal mereka
mengadopsi metode interpretasi asal Yunani ini kalangan Kristen sudah
menghadapi masalah. Munculnya kelompok Gnosticism[8]
dan Marcionisme adalah diantara buktinya. Akibat yang lebih dahsyat lagi akan
kita bahas sesudah ini.
Dari pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria
dan Antioch ini
seorang teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil
jalan tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan
memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini
dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks
Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu
simplistik. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis yang
telah tersurat dalam teks Bible sendiri. Karena itu Magnum opus
Augustine yang terkenal De Trinitate pada abad 20 dirujuk Gadamer.
Meskipun munculnya St.Augustine dianggap awal terjadinya proses assimilasi
teologis dalam hermeneutika, namun pemikiran St.Augustine masih belum
dapat menghilangkan pengaruh worldview
Yunani, khususnya Platonisme. Konsepnya tentang Tuhan, termasuk konsepnya
tentang cosmos, bercampur dengan worldview Yunani. Tak ayal lagi
resistensi dari kalangan gereja tidak dapat dihindari. Tokohnya Vincent of
Lerins (…- 450M) mengarahkan pembacaan teks menjadi lebih formalistis dan
cenderung kepada pemahaman Kristen ortodoks. Di samping itu terdapat pula tren
yang mencoba memisahkan antara intepretasi Bible dengan spekulasi teologis,
sesuatu yang dalam gagasan St.Augustine ingin disatukan.
Perkembangan pemikiran hermeneutika yang patut dicatat dalam teologi
Kristen terjadi pada abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas
(1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle
kedalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran
Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd
(1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan
filsafat naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan kecenderungan
Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah
Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman
literal.[9]
Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri
Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar
memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap
interpretasi alegoris.
Gabungan filsafat Aristotle dan doktrin-doktrin Kristiani merupakan sumbangan Thomas yang berharga bagi
pemikiran filsafat gereja Katholik. Namun, negatifnya ia diklaim sebagai
representasi kitab yang sakral (sacra scriptura) dan bahkan ajaran yang
sakral (sacra doctrina). Padahal teks-teks Bible itu dieksploitir untuk
menjustifikasi premis-premis teologi mereka yang telah banyak dipengaruhi
pemikiran spekulatif filsafat. Itulah sebabnya Werner menganggap hermeneutika
dalam pengertian Thomas itu sebagai the emerging humanist interpretation
theory. Hal ini tidak lepas dari milieu pendidikan humanisme[10]
yang mulai berkembang di tengah masyarakat Barat dan yang diterima oleh para
pendeta waktu itu.[11]
Pemikiran para teolog Kristen yang diwarnai teori interpretasi humanistis itu,
sebenarnya bertentangan dengan realitas spiritual yang dianut gereja. Sebab
ketika Thomas Aquinas muncul milieu pemikiran teologi dan filosof Barat tidak
lagi menjadikan masalah Tuhan sebagai sentral pembahasan mereka.[12]
Jikapun ada pembahasan masalah Tuhan maka ia dibahas dengan pendekatan yang
seperti itu. Yang jelas tren interpretasi humanistis ini berlaku hingga akhir
abad ke lima
belas dan awal abad ke enam belas. Pengaruhnya ini terhadap gerakan reformasi
dalam intepretasi Bible cukup kuat.
Kondisi dan kecenderungan pemikiran seperti itu berkembang dikalangan
teolog Kristen. Hal ini diperparah lagi oleh sikap para tokoh Reformasi
Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan
John Calvin (1509-1564) dan lain-lain yang jelas menunjukkan perlawanan
terhadap otoritas gereja. Misi reformasi mereka adalah mencari aspek-aspek mana
dalam tradisi dan kehidupan kerohanian Kristen yang tidak sesuai dengan
kepercayaan Kristen sehingga perlu direformasi. Meskipun dalam bidang
hermeneutika gerakan Kristen Protestan masih berpegang bacaan Bible yang telah
dikembangkan oleh teolog pendahulu mereka, namun perubahan sikap terhadap Bible
dan otoritas gereja cukup berarti bagi perubahan makna hermeneutika. Sikap
ini secara umum dapat difahami sebagai
penolakan mereka terhadap hermeneutika model intepretasi alegoris dan
justifikasi terhadap hermeneutika model interpretasi literalis (sensus
literalis), seperti yang dilakukan Aquinas
Prinsip hermeneutika yang diyakini Protestan, khususnya Luther
adalah bahwa pemahaman yang benar terhadap kata-kata dalam teks itu sendirilah
sebenarnya yang membuat jiwa Kitab itu tumbuh dan bukan diluar dari teks Kitab.
Dictumnya sui ipsius interperes (self interpreting) berarti bahwa
kehadiran Tuhan dalam setiap kata tergantung kepada pengamalan yang
dimanifestasikan melalui pemahaman yang disertai keimanan. Motto kaum Protestan
ini dikenal dengan Sola Scriptura, yaitu meyakini bahwa Bible saja telah
merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk memahami Tuhan. Sikap kaum Protestan
terhadap gereja, dan dictum sui ipsius interperes mereka dianggap naïve
dan tidak memuaskan. Selain tidak dapat mengatasi kesulitasn bacaan suatu
paragap juga tidak dapat mengelak terjadinya interpretasi yang arbitrer.
Demikian pula sikap mereka yang tidak menganggapnya sebagai sumber keimanan Kristen
yang dapat digali untuk membangun sistim kepercayaan mengundang reaksi. Para teolog Katholik Roma melalui Konsili Trent (1545) menolak
prinsip Protestan itu dan mendukung teori dua sumber keimanan dan teologi
Kristen yakni: Bible dan tradisi Kristen. Itulah kondisi teologis yang
mengitari konsep hermeneutika.
Selain persoalan teologis akar masalahnya juga dapat dilacak dari
problematika teks Bible sendiri.[13]
Diseputar teks Bible terdapat masalah-masalah mendasar seperti otentisitas
teks, bahasa teks dan bahkan kandungan teks Bible itu sendiri. Hal ini
tercermin dari pernyataan Duane bahwa
“Problem yang mereka (penulis Bible)
kemukakan kebanyakan bukan problem kita, dan cara-cara berfikir mereka tidak
dapat kita produksi kembali begitu saja pada hari ini. Karena itu dunia Bible
umumnya asing bagi kita, dan bahasanya sulit difahami”.[14]
Karena hermeneutika masalah gap antara
bahasa modern dan bahasa teks Bible dipersoalkan. Cara penulis-penulis Bible
berfikir tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern
dianggap berbeda. Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia
mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika
dianggap jalan terbaik untuk menjembatani kesenjangan ini.
Namun dengan kedua model hermeneutika diatas kalangan teolog Kristen
tidak dapat mengatasi problem teks Bible. Mereka dibingungkan oleh pilihan
antara mengikuti milieu masyarakat
intelektual Barat atau setia pada teks Bible. Huston Smith mencatat bahwa
“rasionalisme telah merasuki teologi pada awal Abad Pertengahan, tapi pandangan
Kristen masih menguasai pikiran orang Kristen, sehingga mereka berpihak kepada
pernyataan Tuhan yang ada dalam Kitab “suci” itu”.[15]
Bukti yang paling jelas adalah ketika kalangan teolog Kristen – Protestan
maupun Katholik – bersama-sama menolak penemuan ilmiyah Johannes Kepler
(1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624).
Ini menunjukkan bahwa di awal abad pertengahan, hermeneutika masih
berada dalam sangkar teologi Kristen tapi masih berada dibawah pengaruh
pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks Bible sendiri mulai digugat
dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh pandangan hidup ilmiah dan
rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai muncul membawa
hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis. Teori-teori hermeneutika yang
muncul saat itu sangat dipengaruhi oleh persoalan teks Bible dan otoritas
gereja yang hegemonis. Hermeneutika bukan berasal dari tradisi pengkajian dan
pemahaman Bible, tapi metode asing yang diadopsi untuk merekayasa teks Bible
yang menghadapi problem orisinalitas
Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme
Bagaimanapun resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan
sains yang dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi
diskursus yang menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan
hermeneutika yang diangkat pun bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas
yang terkandung dalam teks kuno seperti Bible dan bagaimana menterjemahkan
realitas tersebut kedalam bahasa yang difahami oleh manusia modern. Yang selalu
dimuculkan adalah masalah adanya gap antara bahasa modern dan bahasa teks
Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir tentang diri mereka dan cara
berfikir masyarakat Kristen modern. Dunia teks akhirnya dianggap sebagai
representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia
ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau
menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan esensi
pesannya. Bagi mereka repetisi atau reproduksi ungkapan-ungkapan dalam
Bible hanya akan membuat pesan-pesan
Bible menjadi tidak relevan. Disini hermeneutika dalam pengertian tradisional
yang dikenal dalam sejarah Bible tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang memadahi
untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan secara valid pesan-pesan Bible. Karena
itu hermeneutika berubah pengertiannya menjadi bukan lagi metodologi
interpretasi, tapi metodologi memahami dan obyek yang difahami pun menjadi
terbuka.
Bel pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of
interpretation dapat ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica
Sacra Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the
Method of Explanation of Sacred Literature), terbit pada tahun 1654.
Disitu hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai
metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya
diperluas kepada non-Biblical literature.[16]
Sejak terbitnya buku karya J.C.Dannheucer tidak hanya timbul pemahaman
hermeneutika yang meloncat keluar konteks Bible, tapi bahkan mulai timbul
pandangan bahwa intepretasi teks Bible tidak bisa dibedakan dari interpretasi
teks-teks lain. Jadi selain teks Bible itu sendiri secara tekstual bermasalah,
mereka sendiri sudah meletakkan Bible sebagai bukan kitab keagamaan yang sakral
lagi. Benedictus de Spinoza (1632-1677)
dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah
tentang politik teologi) menyatakan bahwa “standar eksegesis untuk Bible
hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”. Gereja Reformasi mengkritik
keras buku ini dan kemudian menghentikan peredarannya. Meskipun demikian
perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai
alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin
ilmu interpretasi.[17]
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang
dogmatis kepada semangat rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya
gerakan Reformasi Protestan pada abad ke enam belas. Tanda ini bertambah jelas
pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad berikutnya. Pernyataan
Spinoza sudah merupakan bukti kuat tergesernya peran teologi dalam
hermeneutika. Di saat itu masyarakat Eropah sudah cenderung kepada
penggunaan akal dan tidak lagi percaya pada agama dan otoritas tradisional.
Cita-cita terwujudnya masyarakat liberal, sekuler dan demokratis mulai muncul
perlahan-lahan.
Peran Universitas Halle penting bagi derasnya arus pemikiran Enlightenment
ini. Beberapa filosof dan teolog terkenal, seperti Christian Wolff
(1679-1754), Siegmund J Baumgarten (1706-1757), Johann S Semler (1725-1791)
adalah dosen di universitas ini. Kuliah-kuliah serta tulisan-tulisan mereka
jelas menunjukkan semangat penggunaan akal yang berlebihan dan protes terhadap
otoritas yang bertentangan dengan akal. Dalam soal hermeneutika Semler misalnya
melontarkan gagasan tranformasi radikal dari hermeneutika teologis, artinya
interpretasi Bible berdasarkan seperangkat doktrin harus sudah ditinggalkan dan
bacaan bersifat dogmatik harus berakhir yang tinggal adalah bacaan kritis. Tapi
Semler masih berpegang bahwa tugas
hermeneutika adalah memahami teks seperti yang difahami pengarangnya. Untuk itu
ia menolak pemahaman synchronistic a la Protestan Ortodoks dan mengetrapkan
bacaan diachronic, yaitu bacaan yang mengungkap pengertian historis dan
literal (sensus litteralis historicus) teks Bible itu sendiri. Dua
aturan penting bagi teori interpretasi kritis yang diperkenalkannya adalah: 1)
penafsir Bible haru menyadari jarak historis antara dirinya dan teks Bible 2)
Hermeneutic Bible harus menghormati aturan universal dalam menginterpretasi
teks.
Perkembangan makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu
interpretasi menuju kepada metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar
filololgi Friedriech Ast (1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der
Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic and
Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks menjadi 3 tingkatan: 1)
pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks dengan
teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu merujuk kepada pemahaman
makna kata pada teks; dan 3) pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk
kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tapi
terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis. Disini konteksnya nampak
sekali sudah diluar kitab Bible.
Pada tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke
filsafat masih berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori
interpretasi teks Bible secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain
Bible. Disini hermeneutika berkembang dalam milieu yang didominasi oleh para
teolog yang telah bersentuhan dengan pemikiran filsafat Barat. Faktor yang
lebih dominan dan bertanggung jawab dalam perkembangan hermeneutika saat itu
adalah perubahan pandangan hidup para teolog Kristen yang dipengaruhi oleh
gerakan Pencerahan dan modernisasi yang terjadi di Barat. Teori-teori yang
dikemukakan sudah tentu dalam konteks teologi Kristen dan pemikiran masyarakat
Eropah masa itu.
Dari teologi protestan kepada filsafat
Perkembangan hermeneutika dari diskursus teologi
menjadi pembahasan filsafat bersamaan dengan perubahan pandangan hidup masyarakat
Barat Modern dan Postmodern. Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode
berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran rasional yang menjanjikan
pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi, agama dan khurafat.[18]
Ini sebenarnya adalah gerakan sekularisasi yang mengarah pada desakralisasi
ilmu dan institusi sosial. James E.Crimmins mencatat bahwa ketika gerakan
desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’ terjadi di Barat, ilmu
diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap penyebab
kemunduran.[19] Alain
Finkielkraut dalam buknya The Defeat of the Mind menggambarkan nasib
agama dizaman modern di Barat.
What
they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason……From
now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s
action and shaping their thoughts
without their knowing it. Instead of communicating with all creatures, as His
namesake did, by means of the Revelation, God no longer spoke to man in a
universal tongue; He now spoke within him, in the language of his nation.[20]
Maksudnya apa yang disebut Tuhan bukan
lagi Yang Mahakuasa, tapi telah berubah menjadi akal kolektif. Jadi Tuhan
berada dalam akal manusia, bukan diluarnya, dan tidak mengarahkan pekerjaan
orang dan menentukan pemikiran mereka tanpa mereka ketahui. Medium komunikasi
Tuhan dengan ciptaanNya bukan lagi melalui wahyu, tapi melalu bahasa universal,
Ia berbicara dalam diri manusia dalam bahasa bangsanya.
Di dalam milieu pemikiran inilah makna
hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat. Munculnya Fredrich Ernst
Daniel Schleiermacher (1768-1834) menandai babak baru metode filsafat
hermeneutika. Alumni dan dosen Universitas Halle (1805) ini dianggap sebagai
filosof meskipun ia bekerja sebagai seorang pendeta. Materi kuliahnya “universal
hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran
Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus
menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap
sebagai Bapak hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Ini semua
adalah latar belakang sosial yang lebih banyak menguasai hermeneutikanya.
Filsafatnya tergolong sebagai idealis absolute dan pandangannya terhadap agama
sama seperti Kant. Beragama tidak bisa diartikan sebagai usaha mencapai ilmu transcenden,
sebab ilmu seperti ini baginya tidak mungkin dicapai.
Filsafat hermeneutikanya bermula dari
pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi?
Dalam hal ini ia mengajukan dua teori pemahaman hermeneutikanya: pertama
pemahaman ketata-bahasaan (grammatical understanding) terhadap semua
ekspresi, dan kedua pemahaman psikologis terhadap pengarang. Dari bentuk
kedua ini Schleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut intuitive
understanding yang secara operasionalnya merupakan suatu kerja
rekonstruksi. Artinya hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran
pengarang. Tujuan pemahaman bukanlah makna yang diperoleh dari dalam materi
subyek, tapi lebih merupakan makna yang muncul dalam pandangan pengarang yang
telah direkostruksi tersebut. Jadi interpretasi yang benar, menurut teori
Schleiermacher, tidak saja melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya
pengarang tapi juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Dan ini hanya
dapat dilakukan dengan kegiatan devinasi, an act of devination (ramalan,
dugaan) yang dengan itu interpreter menghadirkan kembali kesadaran pengarang.
Jika kesadaran pengarang dillihat dalam konteks cultural yang lebih luas, maka
ia dapat memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri.
Teori tentang interpretasi psikologis banyak mendapat kritikan karena
subyektifitasnya.[21]
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an teori Schleiermacher ini irrelevan tapi juga
irrasional. Karena manusia tidak mungkin memproduksi kembali sikap mental Tuhan
ketika mewahyukan al-Qur’an.
Hermeneutika Schleiermacher mendapat
kritikan dan juga makna baru dari seorang filosof, kritikus sastra, sejarawan
asal Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Bagi filosof yang pakar metodologi
ilmu-ilmu sosial ini hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang
kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”.[22]
Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang
merupakan ekspresi dari pengalaman hidup dimasa lalu. Untuk memahami pengalaman
tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang.
Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher. Tapi ia
menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari
prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini
anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam
perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat
hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan
sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan
aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Gagasan
ini mendapat dukungan dari sejarawan hukum sezamannya asal Italia Emilio Betti.
Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi
yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial. Jika Kant menulis Crituque of
Pure Reason ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical
Reason. Tapi benarkah pendekatan historis dapat dianggap universal, masih
memerlukan perdebatan panjang.
Pendekatan hermeneutika Dilthey
yang diarahkan menjadi dasar teori bagi ilmu kemanusiaan, dikembangan lagi oleh
Martin Heidegger (1889-1976) kearah kajian ontologis. Milleiu dan latar
belakang intelektualitasnya Heidegger berada dibawah pengaruh Fisika,
metafisika dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan
metode fenomenologinya.[23]
Pemikiran Kant dalam Critique of Pure Reason dan kajian hermeneutika
historisnya Dilthey juga berpengaruh kedalam pemikiran Heidegger. Dengan latar
belakang itu ia lalu mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang
berdimensi ontologis. Jika kajian historis Dilthey melibatkan kesadaran tentang
kehidupan dalam konteks kesejarahan, Heidegger menghubungkan kajian tentang
makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus
dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan
audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu
keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri
sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang essensial dan terus menerus.
Kesadaran tentang eksitensi ini juga menginterpretasikan berbagai entitas dalam
dunia seperti meja sebagai meja, kursi sebagai kursi.[24] Meskipun pengaruh Dilthey terhadap Heidegger
cukup kuat, namun ia juga punya kritik terhadapnya. Dilthey baginya tidak mampu
mengatasi kecenderungan pemikiran Barat yang subyektifistis, khususnya sejak
munculnya dualisme atau dikhotomi Discartes. Kecenderungan mana telah
mengakibatkan terjadinya dilemma epistemologis yang berkepanjangan.
Hermeneutika yang berkembang
dari milieu tradisi filsafat fenomenologi Husserl di Jerman tidak hanya
melahirkan Heidegger dengan interpretasi ontologisnya, tapi juga Hans-Georg
Gadamer. Gadamer dengan karyanya Truth and Method tidak memaknai
hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi tapi pemikiran dalam tradisi
filsafat. Sebenarnya ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab
baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat
ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui
metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan.
Dan yang sedemikian itu harus difahami sebagai filsafat praktis (practical
philosophy)”.[25]
Dia umpamakan pemahaman manusia
sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh
pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna
teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan
potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita
memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Jadi jika para interpreter kitab Bible
mencoba masuk dalam teks asli dengan maksud untuk memahami teks tersebut sesuai
dengan maksud penulisnya, maka hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah
interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective
historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa yang disebut
juga sebagai the horizon of a hermeneutical ontology.
Jurgen Habermas (1929- ) mengkritik hermeneutika Gadamer sebagai
kurang memiliki kesadaran sosial yang kritis. Kalau bagi Gadamer pemahaman
didahului oleh pra-penilaian (pre-judgement), bagi Habermas pemahaman
didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah
kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan
kekuasaan (power interest) sang interpereter dan khususnya
komunitas-komunitas interpreter yang terlibat dalam interpretasi. Disini
Habermas sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial keagamaan disaat mana
interpretasi Bible bertujuan untuk memenuhi kepentingan kelompok yang mapan ataupun
tertindas.
Teori hermeneutika lain muncul
dari seorang seorang Katholik kelahiran Perancis yang menjadi tawanan perang
dunia kedua di Jerman, bernama Ricoeur (1913- ).
Keterlibatannya dengan filsafat fenomenologi di Perancis membuat gebrakannya
dalam bidang hermeneutika dianggap sebagai pemersatu filsafat Eropa dan
Anglo-Amerika. Dalam teori interpretasinya Ricoeur mencoba mencari integrasi
dialektis dari dikhotomi Dilthey yaitu penjelasan (erklaren) dan
pemahaman ontologis (verstehen). Ricoeur berangkat dari perbedaan yang
fundamental antara paradigma intepretasi teks tertulis (discourse) dan
percakapan (dialogue). Teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas
dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya
lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam
pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspressikan dari niat
subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima
menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview)
pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.[26]
Dari uraian diatas jelaslah
bahwa makna hermeneutika sebagai filsafat telah bergeser mengikuti pandangan
hidup tokohnya. Schleiermacher dengan
latar belakangnya sebagai pendeta Protestan Liberal dan idealis absolute
merubah makna hermeneutika dari sekedar kajian teks Bible menjadi metode
memahami dalam pengertian filsafat. Dilthey sebagai pakar metodologi ilmu-ilmu
sosial membelokkan makna hermeneutika menjadi metode kajian historis. Heiddeger
dengan latar belakang filsafat fenomenologinya membawanya kepada kajian
ontologis. Gadamer sebagai filosof yang besar dilingkungan filsafat fenomeologi
Jerman juga menekankan kajian ontologis Heiddeger tapi dalam konteks tradisi
pemikiran filsafat Barat. Namun Habermas dengan lingkungan filsafat social
Marxis menggeser makna hermeneutika kepada pemahaman yang diwarnai oleh
kepentingan (interest), khususnya kepentingan kekuasaan. Itulah sebabnya
ia mengkritik Gadamer karena tidak menekankan kesadaran sosial yang kritis.
Sedangkan Ricour dengan milieu filsafat fenomenologi dan eksistensialisnya
mensyaratkan adanya aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama
dalam pemahaman hermeneutisnya.
Pergeseran yang terjadi
diseputar makna hermeneutika dalam konteks filsafat diatas, sejatinya
melibatkan pergeseran obyek materi pemahaman, cara dan sikap mental subyek yang
memahami dan lingkungan yang mempengaruhi obyek dan juga subyek. Tapi karena
kuatnya pengaruh filsafat fenomenologi maka kebenaran obyektif dipersoalkan.
Gellner bahkan menyimpulkan bahwa kebenaran obyektif akan digantikan oleh
kebenaran hermeneutika, sebab kebenaran hermenutika lebih mengutamakan
subyektifitas obyek yang dikaji dan pengkajinya, dan bahkan subyektifitas
pembaca atau pendengar.[27]
Kesimpulan analisis
Uraian diatas membuktikan bahwa
hermeneutika, baik dalam bentuk intepretasi alegoris maupun katatabahasaan,
adalah metode pemahaman yang merupakan produk kebudayaan, mitologi dan filsafat
Yunani. Jadi ia tidak bebas nilai. Ia pada mulanya masuk dan berkembang dalam
milieu teologi Kristen tanpa resistensi, karena dalam tradisi intelektual
Kristen sendiri tidak terdapat Ilmu intepretasi yang lahir dari konsep teologi
mereka. Tapi hermeneutika kemudian justru menimbulkan perpecahan dikalangan
penganut Kristen. Pertentangan antara pendukung intepretasi alegoris dan
literal atau grammatical hakekatnya bukan menunjukkan resistensi tapi
justru merupakan bukti dominasi pemikiran Plato dan Aristotle. Bahkan Van A
Harvey menyatakan dengan jelas bahwa karena perdebatan dalam soal hermeneutika
inilah akhirnya mengakibatkan timbulnya dua kelompok Protesan Liberal dan
Kristen Ortodoks.[28]
Masalahnya, mereka memerlukan hermeneutika karena problem otentisitas Bible,
tapi dengan mengadopsi hermeneutika berarti mereka mengubur otoritas dalam
tradisi mereka. Terlepas dari problem otentisitas Bible dan otoritas
memahaminya, impak yang ditimbulkan akibat mengadopsi hermeneutika bagi Kristen
sudah merupakan bukti bahwa hermeneutika itu tidak netral.
Ini juga bukti bahwa hermeneutika itu
tidak dapat di’adopsi’ begitu saja, ia perlu di’adapsi’ kedalam realitas
teologi Kristen. Namun, nampaknya mekanisme untuk itu tidak terdapat dalam
tradisi intelektual Kristen, sehingga kajian hermeneutika secara teologis
segera melompat kepada kajian filsafat. Ketika makna hermeneutika memasuki
diskursus filsafat, tradisi intelektual Barat telah siap dengan mekanisme
pem-Baratan. Nilai-nilai pandangan hidup Barat yang sekuler dan anti agama ikut
mulai memberi makna baru terhadap hermeneutika. Oleh sebab itu ketika
hermeneutika telah menjadi metode filsafat ia sudah bukan lagi metode
interpretasi kitab suci, dan jika ditrapkan untuk kajian kitab suci ia akan
merusak sendi-sendi agama itu. Terbukti Bible yang dalam diskursus teologi
diletakkan sebagai kitab sacral, dalam diskursus filsafat dianggap sama dengan
teks-teks lain dan bahkan dianggap tidak dapat dijadikan pedoman untuk
mengartikulasikan keimanan Kristen.
Karena ilmu
dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam
bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Disinilah sejatinya yang
menentukan bahwa ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk hermeneutika, itu
tidak netral. seperti yang telah dibahas bahas diatas. Karena setiap konsep
dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh pandangan hidup masing-masing, maka Alparslan
menegaskan bahwa suatu peradaban tidak dapat begitu saja mengimport suatu
konsep kecuali dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut
“borrowing process”.[29] Jika modifikasi konsep itu melibatkan
konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm
Shift) tidak dapat dielakkan lagi.
Filsafat hermeneutika yang diklaim sebagai
metode universal dan netral sejatinya juga tidak demikian. Filsafat
hermeneutika Schleiermacher yang membawa presupposisi bahwa keberagamaan adalah
sesuatu yang a priori (tidak memerlukan pengalaman), mendorong
hermeneutika menjadi proses subyektif dan intuitif yang ekstrim. Prinsipnya
tentang universalitas filsafat hermeneutika telah meletakkan hermeneutika
teologis menjadi partikular. Yang partikular
hanya dapat difahami dengan yang universal. Agama disubordinasikan
dibawah filsafat. Prinsip pemahaman psikologisnya sangat mustahil ditrapkan
untuk semua jenis teks, khususnya teks al-Qur’an. Hermeneutika Dilthey yang
ingin menjadikannya metodologi sains kemanusiaan yang universal dengan
menekankan pada aspek kesejarahan juga masih belum bisa diterima oleh kalangan
pemikir kontemporer. Disiplin Ilmu yang berkembang saat ini tidak pula
mengikuti hermeneutika yang digagas Dilthey. Hermeneutika Habermas yang
mensyaratkan agar setiap pemahaman mempertimbangkan kepentingan kekuasaan
adalah khas bahasa filsafat social Marxis. Ketika hermeneutika masuk kedalam
milieu filsafat eksistensialis, utamanya Kierkgaard dan dikembangkan oleh Heidegger, ia berubah
menjadi intepretasi eksitensialis. Penekanan Heidegger pada aspek ontologis
menyerang habis metafisika yang menjadi domain dari diskurus masalah ketuhanan
dan pemikiran keagamaan. Jadi ketika Gadamer berkata bahwa universalitas
hermeneutika masih bermasalah dapat kita fahami bahwa hermeneutika itu sarat
nilai.
Sebagai sebuah metode filsafat sejatinya
hermeneutika penuh dengan presuposisi epistemologis yang bersumber pada konsep
realitas dan kebenaran dalam perspektif Barat. Pemahaman terhadap realitas
hanya dibatasi dalam konteks kesejarahan, sosial, kekuasaan yang kesemuanya
bersifat subyektif. Pemahaman terhadap
manusia yang inheren dengan eksistensi dirinya merupakan basis bagi setiap
proses pemahaman. Aspek-aspek realitas bersifat metafisis, kosmologis, dan
ontologis tidak menjadi pertimbangan penting. Lebih-lebih ketika metafisika
disingkirkan dari diskursus filsafat hermeneutika, ia semakin bertambah jauh
dari mungkin untuk ditrapkan dalam diskurus keagamaan.
Dalam kata pengantar buku Jean Grondin yang berjudul Introduction
to Philosophical Hermeneutic Hans-Georg Gadamer (1900-1998) seroang tokoh
filsafat heremenutika menulis begini:
Istilah hermeneutika merujuk kepada
sejarah yang panjang dan masih banyak yang perlu dipelajari untuk hari ini.
Jadi universalitas (hermeneutika) pun masih merupakan tantangan, bukan dalam
konteks pandangan filsafat tapi sebagai tugas filsafat. ….Ketika era metafisika
mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam memonopoli ilmu pengetahuan
berkurang secara otomatis, maka sebagai suatu upaya awal (starting point)
untuk mengembangkan suatu universalitas yang murni kita dapat melihat konsep
kuno ini (maksudnya hermeneutic pen.). Namun, di zaman Romantis (antara
1775-1830 pen.), hermeneutika berkembang hingga kesuatu titik yang meliputi
teori tentang sains kemanusiaan secara menyeluruh. Jadi ia tidak hanya meliputi
jurisprudensi dan teologi, tapi juga filologi dan semua disiplin terkait.[30]
Dalam
pernyataan Gadamer diatas ada tiga implikasi penting yang bisa ditangkap. Pertama
hermeneutika yang berasal dari Yunani dan diadopsi para teolog Kristen
sebagai Tafsir Bible itu dicoba dikembangkan menjadi teori sains kemanusiaan.Kedua,
hermeneutika muncul dari suatu milleu ilmiah (scientific environment)
yang mulai meninggalkan pemikiran metafisis. Ketiga, universalitas
hermeneutika sebagai metode masih merupakan tantangan. Dari ketiga implikasi
diatas sejatinya sudah dapat difahami bahwa hermeneutika lahir dan berkembang
dari suatu peradaban dan pandangan hidupnya (worldview). Oleh karena itu
maka hermeneutika sebagai ilmu itu value-laden atau tidak bebas nilai.
Ia diwarnai oleh nilai-nilai kultural, religius dan filosofis yang dicerminkan oleh “pandangan hidup”
Barat.
Gellner bahkan menganggap kolonialisme di
Barat seperiode dengan positivisme, suatu bentuk imperialisme pemikiran,
sedangkan dekolonisasi seperiode dengan era hermeneutika, yang secara perlahan-lahan
berkulminasi pada postmodernisme. Ia kemudian menghubungkan secara parallel
kecenderungan dekolonisasi ini dengan gerakan liberalisasi, feminisme, gerakan
minoritas yang tertindas yang marak akhir-akhir ini. Jadi nalar kita dapat
memahami dengan jelas bahwa hermeneutika bukan ilmu yang dihasilkan oleh
fikiran yang tanpa aspek historisitas dan latar belakang pandangan hidup dan
karena itu ia value laden.
Selain itu dari berbagai konsep yang
muncul dapat difahami bagaimana problematiknya konsep hermeneutika dalam
tradisi intelektual Barat dan juga Kristen. Problematika mana sejatinya tidak
terdapat dalam tradisi intelektual Islam. Dalam Islam al-Qur’an telah jelas
menekankan keimanan pada sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dibukutikan secara
empiris. Selain itu antara pesan Tuhan yang universal dan realitas kehidupan
manusia tidak ada masalah, karena adanya prinsip harmoni antara ayat-ayat
al-Qur’an, ayat-ayat Kauniyyah dan ayat-ayat dalam diri manusia (fÊ anfusikum). Ibn Taymiyyah bahkan memformulasikan kesatuan fitrah,
yaitu bahwa alam semesta ini diciptakan dengan fitrah sebagaimana juga manusia.
Untuk melengkapi fitrah manusia itu Allah menurunkan al-Qur’an yang ia sebut
sebagai fitrah munazzzalah.
Tren dikalangan modernis Muslim untuk
meng’adopsi’ filsafat hermeneutika sebagai alternatif Tafsir al-Qur’an adalah absurd.
Kritik-kritik mereka terhadap Tafsir dan ulum al-Qur’an yang lain
hakekatnya adalah bukti kegagalan mereka menangkap konsep “tafsir” atau
“memahami” (tafaqquh) dalam tradisi intelektual Islam. Kegairahan mereka
menggunakan hermeneutika dalam kajian Islam tidak disertai pemahaman terhadap
presuposisi-presupposisi metafisis, epistemologis dan ontologis yang
mendasarinya. Mereka nampaknya juga tidak mencoba memahami konsep realitas dan
kebenaran yang mendasari konsep dan teori hermeneutika dan membedakannya dengan
konsep Islam. Akibatnya, secara tidak sadar mereka telah melakukan
“dekonstruksi” dan bukan rekonstruksi Islam dan elemen-elemen pandangan
hidupnya.
[1]
Thomas F Wall, Thinking
Critically about Philosophical Problem, A modern introduction, Wadworth, 2001,
hal. 60.
[2] Untuk lebih jelasnya lihat S.M.N, al-Attas, Prolegomena to The
Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview
of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix).
[3]Alparslan Acikgence, Islamic
Science, Towards Definition, Kuala Lumpur , ISTAC 1996, 30
[5] Werner G.Jeanrond, Theological Hermeneutic,
Development and Siginificance, Macmillan, London , 1991, hal.12-13
[7] Logos asal dari bahasa Yunani berarti “kata”. Para filosof Yunani memakai kata tersebut untuk menunjukkan
prinsip rasional yang mengatur dan mengembangkan alam semesta.
[8]
Gnosticism adalah aliran dalam
Kristen yang mengasimilasikan elemen kepercayaan Kristen dengan konsep pagan
Yunani, demiurge. Aliran yang muncul pada abad kedua Masehi dan terus
hidup hingga abad pertengahan ini berhasil menafsirkan teks Bible dengan
tafsirnya sendiri. Teks-teks yang dihasilkan aliran ini pada abad keempat
Masehi telah ditemukan di Mesir.
[9] Thomas Aquinas, “Summa Theolgiae”, terj.
Robert M.Grant & David Tracy, dalam A Short History of Interpretation of
the Bible, edisi ke 2, Pliadelpia: Fortress, 1984, 88ff
[10] Humanisme adalah gerakan yang terpisah dari
Rennaisance yang dalam pengertian religius berarti kepercayaan bahwa Tuhan
menciptakan manusia untuk melakukan hal-hal yang penting bagi manusia. Tapi
gerakan ini akhirnya cenerung anti gerakan sosial dan politik keagamaan. Pada
abad ke 20 istilah ini dipakai secara pejoratif oleh postmodernis yang dalam
bidang filsafat merujuk kepada Startre. Simon Blackburn, Oxford Dictionary
of Philosophy, Oxford University Press, 1996, hal.178.
[12] Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind,
Quest Book, The Theosophical Publishing House, Wheaton , Illinois , USA , 1989. 4,5.
[13] Untuk lebih detail tentang problem teks Bible lihat George Buchanan
Gray, “Bible”, Encyclopaedia Britannica, edisi ke 13, hal. 860; juga J.
Alberto Soggin, Introduction to the Old Testament: From its Origin to the
Closing of the Alexandrian Canon (London: SCM Press Ltd., 1976), hal. 18–19.
[19] James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political
Thought, London ,
Routledge, 1990, 7.
[20]
Alain Finkielkraut, The
Defeat of The Mind, (trans. by
Judith Friedlander, New York
Columbia University
Press, 1995, 18.
[21] Kritik terhadap Schleiermacher dapat dibaca
dalam Carl E.Braaten, New Direction in Theology, (Philadelphia : The Westminster Press, 1952,
132-33.
[23] Fenomenologi adalah aliran filsafat yang dipimpin oleh Edmund
Husserl (1859-1938) yang diantaranya berprinsip bahwa pengetahuan yang kita
miliki adalah pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia. Simon
Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy,
Oxfrod University
Press, Oxford
1996.
[24] Martin Heidegger, “Being and Time”, dalam
Gayle L.Ormiston dan Alan D.Schrift, The Hermeneutic Tradition, form Ast to
Ricour, State University of New York Press, 1990, 115-120.
[25] Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science, tans. Frederick G.Lawrence, Cambridge , Mass. , and London , MIT Press, 1981,
112.
[26] P. Ricoeur, ``The Model of Text: Meaningful Action Considered as
Text,'' Social Research 38, 1971, 529-62
[28] Van A Harvey, “Hermeneutic” dalam The Encyclopedia of Religion,
ed. Mercea Eliade, MacMillan Publishing Company, New York , 1987, hal. 280-281
[30]
Jean Grondin, Introduction
to Philosophical Hermeneutic,Yale University Press, New
York , London ,
1994, hal X)
0 komentar:
Posting Komentar