Suatu hari,
Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Hai Musa, bila nanti kau akan bertemu
dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih baik daripada dia.”
Nabi Musa as lalu pergi ke mana-mana; ke jalanan, pasar, dan tempat-tempat
ibadat. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari
dirinya. Mungkin dalam beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi
Musa, tetapi Nabi Musa selalu menemukan ada hal pada diri orang itu yang lebih
baik dari dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya
Nabi Musa dapat berkata, “Aku lebih baik dari dia.”
Karena gagal
menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri
binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada Nabi Musa.
Seperti kita ketahui, burung Merak, misalnya, bulunya jauh lebih bagus dari
bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing kudisan. Nabi
Musa berpikir, “Mungkin sebaiknya aku pergi membawa dia.” Ia pun lalu mengikat
leher anjing itu dengan tali. Namun ketika sampai ke suatu tempat, Nabi Musa
melepaskan anjing itu.
Ketika Nabi
Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah swt, Tuhan bertanya, “Ya
Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kaubawa?” Nabi Musa
menjawab, “Tuhanku, aku tidak menemukan seseorang pun yang aku lebih baik
darinya.” Tuhan lalu berfirman, “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya
kamu datang kepadaku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik
darinya, Aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian.”
Kata ana
khairun minhu atau “Aku lebih baik dari dia” pertama kali diucapkan oleh Iblis
untuk menunjukkan ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud kepada Adam as
tapi Iblis tidak mau. Ia beralasan, “Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku
dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah.” Takabur yang dilakukan oleh Iblis
pertama kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan.
Menurut
Al-Ghazali, di antara beberapa faktor yang menyebabkan orang menjadi takabur
dan berfikir, “Aku lebih baik dari dia,” adalah nasab. Iblis adalah tokoh
takabur karena nasab yang paling awal. Kebanggaan atau kesombongan karena nasab
ini pernah menjadi satu sistem dalam masyarakat feodal. Feodalisme adalah
sistem kemasyarakatan yang membagi masyarakat berdasarkan keturunannya.
Sebagian masyarakat disebut berdarah biru dan sebagian lagi berdarah merah.
Ada sebuah
buku yang dengan secara terperinci mengkritik sebagian sayyid atau keturunan
Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih utama dari orang yang bukan
sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika ada orang bukan sayyid yang
beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan tetap lebih rendah dari
seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis buku tersebut, seorang
sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang sayyid yang ahmaq atau
tolol. Dalam salah satu buku itu, ia memberikan contoh sayyid yang berpikiran
seperti itu sebagai orang yang takabur karena nasabnya. Ternyata, penulis buku
itu pun adalah seorang sayyid. Namanya Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.#
Penulis itu
mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia pernah menangis
terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani mendekatinya dan bertanya,
“Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat seperti ini? Bukankah kakekmu
Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?” Lalu Imam dengan marah menjawab, “Jangan
sebut-sebut di hadapanku ibuku dan kakekku, karena Allah swt akan memberikan
surga kepada siapa saja yang taat kepada-Nya, walaupun ia adalah seorang budak
dari Afrika. Dan Allah akan memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat
kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid dari bangsa Quraisy.”
Berbangga
sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu perbuatan takabur, apalagi
berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah saw. Orang yang berbangga karena
keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah seperti orang miskin yang
takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh takabur. Orang kaya yang
takabur pun akan dimasukkan ke neraka.
Kehormatan
dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab. Tuhan berfirman, “Innâ
akramakum ‘indallâhi atqâkum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujrat 13 ) Pernah pada suatu
hari, seseorang datang kepada Rasulullah saw dengan membanggakan nasabnya. Di
kalangan masyarakat Arab waktu itu, kebanggaan suatu nasab didasarkan pada
jumlah jasa yang dilakukan nasab itu. Karena itu, mereka sering menyebut-nyebut
jasa orang tua mereka. Orang itu memperkenalkan dirinya dengan menyebut
silsilah orang tuanya sampai keturunan kesembilan. Rasulullah saw hanya
menjawab pendek, “Wa anta ‘âsyiruhum fin nâr. Dan engkau, keturunan yang
kesepuluh, di neraka.” Ia masuk neraka karena ketakaburannya.
Ketika
berhadapan dengan orang yang takabur karena nasabnya, yang membanggakan
kehebatan orang tuanya, Sayidina Ali berkata, “Ucapan kamu benar. Tapi alangkah
jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu.”
Al-Ghazali
membagi takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan agama dan
kedua, takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi
menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali,
yang banyak takabur karena ilmu adalah para ilmuwan, filusuf, dan ulama. Apa
tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya? Ia tidak mau mendengarkan nasihat
dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia merasa dirinya paling pintar dan tidak
memerlukan bantuan orang lain.
Daniel
Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua orang
yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya luar biasa
pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang lain lulus
dengan nilai pas-pasan.
Dua tahun
kemudian, diselidiki nasib kedua orang itu. Orang yang pintar itu ternyata
menganggur sementara orang yang tidak pintar telah menjadi manajer di sebuah
perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata orang pintar itu tidak tahan
bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain.
Ia merasa dirinya pintar sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain.
Takabur yang
kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal. Jika seseorang banyak
beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah hadis diriwayatkan seseorang
yang datang ke majelis Nabi. Orang itu dipuji para sahabat karena kebagusan
ibadatnya.
Tapi Nabi
mengatakan, “Aku melihat bekas tamparan setan di wajahnya.” Nabi kemudian
menyuruh sahabat membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik
di antara orang lain. Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika ada
seseorang yang berkata, ‘Manusia ini semuanya sudah rusak,’(dan ia merasa bahwa
hanya dirinya yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang
paling rusak.”
Ada orang
yang merasa amalnya sudah bagus sehingga dia merendahkan orang lain. Ada juga
orang yang merasa dirinya amat saleh dan segera menganggap rendah orang lain
yang tidak salat berjemaah di masjid seperti dirinya. Ia pun mengecam orang
lain yang salatnya dijamak. Orang-orang seperti itu termasuk orang yang takabur
karena amalnya.
Sayidina Ali
mengajarkan kepada para pengikutnya, “Kalau kamu berjumpa dengan orang yang
lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku.
Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu:
Pasti
amalnya lebih banyak dari amalku." Setiap orang pasti ada kelebihannya.
Kita juga punya kelebihan, tetapi hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih
mulia daripada orang lain. Begitu kita merasa diri kita lebih mulia dari orang
lain dan ingin diperlakukan sebagai orang mulia secara diskriminatif, kita
sudah jatuh kepada takabur. Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal.
Takabur
bagian kedua menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam urusan dunia. Takabur
dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena nasab, seperti
telah dijelaskan di atas. Kedua, karena harta kekayaan. Ketiga, karena
kekuasaan. Keempat, karena kecantikan. Kelima, karena banyaknya anak buah dan
pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya diderita oleh para ulama.
Rasulullah
saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat
takabur walaupun hanya sebesar biji sawi.” Kita dapat mengukur hati kita,
apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan menjawab beberapa
pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: Ketika Anda masuk ke
dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara dengan Anda duduk di
tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat yang lebih rendah,
apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Ketika Anda akan memilih menantu dan
memperhatikan keturunan calon menantu itu, lalu ternyata keturunannya tidak
sebanding dengan Anda, apakah Anda merasa berat menerimanya? Apakah Anda merasa
berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada Anda? Apakah Anda
merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika menghadiri pengajian? Jika
Anda menjawab “ya” untuk salah satu dari pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda
sudah jatuh ke dalam takabur.
Saya akhiri
tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda, “Pastilah orang yang
takabur itu punya cacat dalam dirinya yang ia sembunyikan.” Hadis itu saya kira
sangat modern. Menurut Psikologi mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong
di dunia ini sebetulnya adalah orang yang menderita cacat tertentu yang tidak
kita ketahui dan mereka berusaha menutupinya.
Kita dapat
mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap tawadhu. Tidak ada
obat bagi takabur selain bersikap rendah hati. Rasulullah saw bersabda, “Jika
kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap tawadhu, maka hendaklah kamu
bersikap lebih tawadhu lagi kepada mereka. Dan apabila kamu temukan di antara
umatku orang yang bersikap takabur, maka hendaklah kamu bersikap lebih takabur
lagi kepada mereka.”
0 komentar:
Posting Komentar