KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan taufiq-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tak lupa
penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa agama islam
dari zaman jahiliyah sampe kezaman yang terang benerang.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah studi islam kontemporer II yang diampu oleh dosen: jaenuddin, M.Ag,
dengan judul: “tokoh pembaharuan islam Nurcholis Madjid, serta ide (pemikiran)
pembaharuannya dalam islam”.
Kepada semua pihak, khususnya Dosen
Pengampu/Pembimbing yang telah memberikan tugas kepada penulis dalam penyusunan
makalah ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta menambah
wawasan khususnya bagi pribadi penulis sendiri. Tak lupa, kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan/koreksi makalah ini agar
menjadi lebih baik.
Indramayu, 15 maret 2013
Penulis,
Ade
setiawan
NIM. 862010312014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gelombang pemikiran Islam kontemporer
yang muncul di dunia Islam membuktikan, bahwa diskursus Islam akan terus
mengalami perkembangan yang tak terbendung. Pemikiran ke-Islaman akan selalu
mengikuti gerak sejarah (perkembangan zaman). Munculnya berbagai corak
pemikiran Islam dalam mengapresiasi realitas modern dengan segala pranata
sosialnya merupakan anak kandung sejarah yang terus bergerak melintasi
zamannya, baik yang progresif-liberal maupun yang tradisional-tekstual.
Gagasan pembaruan (tajdid) yang
berkembang akhir-akhir ini bukan merupakan hal baru. Tiap kurun waktu, ketika
sebagian manusia sudah kehilangan arah, dan agama tidak lagi dijadikan sebagai
tolak ukur dan pedoman, selalu ada yang terpanggil untuk menjadi pembaru
(mujaddid) pada zamannya. Munculnya para pembaru ini merupakan bagian dari
siklus sejarah kehidupan manusia, bahwa manusia akan selalu berubah, baik
sikap, perilaku dan mentalitas psikologis sosial maupun keagamaan.
Para pembaru berusaha memurnikan kembali
berbagai pemikiran atau pemahaman menusia terhadap Islam, yang telah berada
pada kondisi “takut”, karena taklid, jumud dan sebagainya. Pembaru itu
berikhtiar menunjukkan dan menampilkan universalitas Islam yang telah mengalami
reduksi, sehingga wajah Islam sebagai Rahmatan lil’alamin benar-benar terasa
dan terwujudkan dalam kehidupan masyarakat yang terus mengalami diaspora.
Menurut M. Din Syamsuddin, paling tidak
ada dua faktor saling tarik menarik yang menjadikan isu pembaruan pemikiran
dalam Islam. Pertama, watak keuniversalan Islam, dan yang kedua, watak kemutlakan
Islam. Kedua faktor diatas masing-masing memiliki sandaran dalam sumber-sumber
doktrin Islam yang dipakai untuk menguatkan argumentasi mereka.
Ide pembaruan dalam pemikiran Islam
hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis
mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks
sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah
ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya,
sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi
akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final.
Dari argumentasi tersebut, dapat
dikatakan bahwa tanpa pembaruan pemahaman, doktrin keagamaan pada era tertentu
akan membeku dan bisa kehilangan relevansinya. Penyegaran itu perlu untuk
mencari relevansi pemahaman ajaran kitab suci dengan tantangan zaman dan
gesekan antar berbagai tradisi keagamaan dalam era globalisasi.
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam
harus selalu berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam (al-Qur’an dan
Sunnah) sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang
terjadi. Dengan cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi
teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan
tidak usang tertutupi perkembangan.
Memperbincangkan gerakan pemaruan Islam
di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Cak Nur (Nurcholis madjid) karena
ia adalah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentunya Cak Nur tak sendiri. Ada
banyak tokoh yang seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan
Islam seperti, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat dan
tentunya masih banyak lagi.
Dalam pandangan Cak Nur (Nurcholis
Madjid) , yang akan kita bahas lebih jauh dalam bab selanjutnya, bahwa
pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang
berorientasi ke masa depan. Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut
Cak Nur, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah
mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran
Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Cak Nur adalah pemikir Islam yang
mempunyai pengaruh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam Indoneia.
Pemikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan Islam, dan
lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim
Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur, ia berhasil
mengembangkan wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam secara modern,
terbuka, egaliter, dan demokratis.
B.
Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah, agar masalah
yang diuraikan tidak keluar dari kajian yang akan dibahas.
1.
Siapakah Nurcholis
Madjid ?
2.
Bagaimana ide atau
pemikiran tentang pembaruan islam ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan makalah
ini.
1.
Untuk mengetahui
biografi Nurcholis Madjid
2.
Untuk mengetahui
ide dan pemikirannya tentang pembaruan islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid ataupun yang akrab
dengan sapaan Cak Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M
bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari keluarga kalangan pesantren. Nurcholis
Madjid dibesarkan dilingkungan keluarga kiai terpandang. Ayahnya bernama KH.
Abdul Madjid, seorang ulama terkemuka di kalangan NU. Pendidikan yang ditempuh
Nurcholis Madjid dimulai sejak Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah Pesantren
Darul-ulum, kemudian melanjutkan jenjeng pendidikannya di Kulliyatul Mu’allimin
al Islamiyah (KMI) Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Setelah
itu ia melanjutkan studinya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjalani aktifitas
kemahasiswaannya, Nurcholis Madjid aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan.
Diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus pernah menjadi
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI selama dua periode sejak 1966-1969 dan
1969-1971). Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara,
dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students
Organizations tahun 1969-1971. Sejak 1978 ia melanjutkan studinya di University
of Chicago USA dan meraih gelar Doktor (Ph.D Study Agama Islam) pada tahun 1984
dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason
and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang Kalam dan Filsafat: Suatu
Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu Dalam Islam). Setelah kembali ke tanah
air pasca menyelesaikan studinya di AS, Nurcholis Madjid kemudian mendirikan
Yayasan Wakaf Paramadina.
Selain menjadi staf pengajar di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1972, Nurchilis Madjid juga menjadi Guru
Besar tamu pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992. Nurchilis Madjid
menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak 1985, dan mejadi Rektor Universitas
Paramadina Mulya sejak 1998-2005. Dan Nurcholis Madjid wafat Pada 29 Agustus
2005.
B.
Ide (pemikiran) Nurcholis Madjid dalam pembaruan islam
Ide-ide Nurcholis Madjid mulai muncul
semenjak ia berkecimpung di dunia kampus. Hingga akhirnya dia dianggap sebagai
salah satu pencetus pembaruan pemikiran Islam. Ketokohannya secara tidak
berlebihan dianggap mewakili figur pembaru pemikiran yang mampu menggagas Islam
secara lebih brilian. Terbukti dengan banyaknya studi tentang pemikirannya dan
peranannya dalam kebangkitan modernisme di Indonesia. Nurcholis Madjid juga
dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan pemikiran Islam neo-modernis di
Indonesia. Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya sewaktu di Chicago.
Gagasan neo-modernis Islam ini mendapat tempat di Indonesia, terutama di
kalangan intelektual muda sejak awal tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an,
bahkan hingga memasuki abad ke-21 sekarang.
Mengenai pemikiran Nurcholis Madjid,
Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa dia berangkat dari keterbukaan sikap yang
ditunjukkan oleh peradaban Islam di puncak kejayaannya sepuluh abad yang lalu.
Keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun
datangnya. Penyerapan tersebut membuat Islam sarat dengan nilai universal.
Karenanya, Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara
semua agama dan semua kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas
peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri.
Cak Nur dikenal dengan konsep
pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di
Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan
keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur
mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur
tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang
disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini
bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di
kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan
kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa
pemikiran Nurcholis Madjid yang membawa pengaruh besar pada rekonstruksi
pemikiran Islam dan dinamisasi semangat keislaman di Indonesai.
1.
Modernisasi
Modernitas sebagai gerakan pembaharuan
yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena
kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad
pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk
memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu
dan mitos tradisional.
Jika modernisasi merupakan produk
perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam menurut Nurcholis Madjid, adalah
agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya, karena Islam
adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu
pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam
kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja
tidak menentang ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi pengembangannya dan tidak melihat perpisahan antara iman dan
ilmu.
Argumentasi Nurcholis Madjid tersebut
berkembang dari pandangannya tentang historisitas sejarah Islam yang sempat
mengalami puncak kejayaannya sejak masa kekhalifaan sampai runtuhnya
kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang kesemuanya memiliki kultur
pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat kuat. Kultur ini terjadi karena di
zaman itu (zaman klasik Islam) terjadi usaha-usaha yang serius dalam hal
interpretasi teks-teks kitab suci yang dampak positifnya masih terasa hingga
sekarang.
Untuk memberikan sebuah batasan asumsi
tentang modernisasi, kita lihat pendapat Nurcholis Madjid sebagi berikut:
Pengertian yang mudah tentang
modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan
pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir
dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan
bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya ialah untuk memperoleh
daya-guna dan efisiensi yang maksimal…. Jadi sesuatu dapat disebut modern,
kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang
berlaku dalam alam.
Sebagai seorang Muslim yang dengan
sepenuhnya meyakini Islam sebagi Way of Life, yang juga akan menganut
cara berfikir Islami, menurut Nurcholis Madjid, pemaknaan terhadap substansi
modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai besar Islam. Dengan demikian akan
memperkuat keyakinan kita bahwa modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh
daya guna dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang
imperatif dan mendasar. Karena manusia pada prinsipnya akan selalu mengalami
perubahan dalam setiap kurun waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar
dan logis dari sejarah perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti akan
muncul.
Hakikat zaman modern menurut Nurcholis Madjid
bukan karena kebaruannya yang seolah-olah tidak ada lagi tahap yang berikutnya,
modern mengisyaratkan penilaian tertentu yang cenderung positif (modern berarti
maju dan baik). Bagi Nurcholis Madjid, menjadi modern juga berarti progresif
dan dinamis, jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, karena
itu bersifat merombak tradisi-tradisi yang tidak benar, tidak rasional, tidak
ilmiah, tidak sesuai dengan hukum alam.
Zaman
sekarang yang di sebut zaman modern bukanlah akhir dari perkembangan peradaban
manusia, ataupun klimaks dari segala pemanfatan fungsi inderawi manusia
terutama fungsi akal, karena boleh jadi setelah zaman modern ini akan ada zaman
lain yang otoritas dan tingkatan ilmu pengetahuannya lebih berkembang dan
canggih dari yang kita saksikan sekarang. Ini merupakan konsekuensi logis
dinamika kehidupan manusia, sebab peradaban manusia telah beberapa kali mengalami
(yang biasanya kita kenal) revolusi, dari revolusi Industri (teknologis) di
Inggris Tahun 1793, revolusi Perancis (sosial-politik) 1798, dan juga revolusi
Rusia 1917.
Meski
demikian, kemodrenan kata Nurcholis Majid adalah relatif sifatnya, sebab
terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang dikatakan modern dapat dipastikan
menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang, sedangkan yang
modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yakni Tuhan. Jadi modernitas
berada dalam suatu proses penemuan kebenaran yang relatif menuju penemuan
kebenaran yang mutlak, yaitu Allah.
Dalam perspektif ini, kemodrenan dengan
segala implikasi sosialnya merupakan usaha kritis manusia dalam memenuhi
tuntutan hidupya. Karena ia merupakan usaha manusia maka dengan sendirinya ia
menjadi relatif, sebab pada dasarnya kebenaran insani apapun bentuknya menjadi
relatif, dan kebenaran mutlak adalah milik Allah. Tidak seorang manusiapun
berhak mengatakan kebenaran insani sebagai kebenara mutlak, sebaliknya, karena
menyadari kerelatifan manusia, setiap orang harus menerima dan mendengarkan
kebenaran dari orang lain. Dengan demikian akan terjadi suatu proses kemajuan
yang terus menerus dari kehidupan manusia sesuai dengan fitrah dan wataknya
yang hanif yakni mencari dan merindukan kebenaran.
Modernisasi sering dikaitkan erat
dengan dunia Barat, karena secara kebetulan momentum zaman modern dimulai oleh
Eropa Barat, sehingga akan menjadi masalah bagi bangsa-bangsa bukan Barat
ketika memasuki atau tepatnya ingin melakukan usaha-usaha menuju proses
modernisasi. Bangsa-bangsa non-Barat akan diperhadapkan secara dilematis antara
usaha mempertahankan keaslian budaya mereka dengan sistem modernisasi yang
sepenuhnya dianggap telah menyatu dengan budaya Barat.
Masalahnya
semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan asumsi sosial bahwa karena
modernisasi merupakan produk Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa
non-Barat) yang ingin menjadi modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan,
menggantikan budaya lokal mereka dengan kebudayaan yang mirip Barat atau
mengalami westernisasi, karena westernisasi adalah pintu menuju modernisasi,
seperti misalnya yang di lakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang
menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki Usmani dan melakukan
upaya kearah Westernisasi dan modernisasi.
Dalam memposisikan Islam dengan
moderitas yang oleh kebanyakan orang dinilai dikotomis, mestinya kita kembali
melihat Islam dalam semangatnya yang lebih dalam. Islam adalah sebuah agama
yang mempunyai watak, visi, dan pandangan yang ke arah kemajuan. Islam justru
sangat memuka peluang dan memberi tempat pada modernitas. Dalam hal ini
masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodrenan dengan tetap mempertahankan
dan memegang teguh nilai-nilai agama yang di anut. Menjadi modern itu tidak
harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam menjalankan
ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern dengan tetap setia
kepada Islam.
2.
Tentang Substansi
Nurcholis Madjid dikategorikan sebagai
kelompok pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan sebagai penekanan
terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih
penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang
bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan Hadīth yang
mengandung esensi abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali berdasarkan
tuntutan dan rentang waktu sejarah kaum Muslim serta dikontekstualisasikan
dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.
Dengan
pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang disebutnya
paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan kata lain,
sebagai salah satu pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam
harus tampil produktif dan konstruktif terutama dalam mengisi nilai-nilai
keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi kesepakatan luhur dan
merupakan kerangka acuan bersama bangsa Indonesia.
Dalam bidang politik, kaum
substansialis berupaya menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai
Islam dalam aktivitas politik. Bukan hanya dalam penampilan akan tetapi juga
dalam format pemikirannya. Menurut Madjid, eksistensi dan artikulasi
nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim politik Indonesia lebih penting
dan sangat memadai untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi
masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi seharusnya mengambil bentuk
kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan demikian gerakan-gerakan Islam
sebaiknya menjadi gerakan budaya daripada menjadi gerakan politik.
Pemikiran Madjid tersebut tampaknya
terinspirasi dari pengalamannya berada di dunia barat dimana etika dan
nilai-nilai kesalihan sosial diterapkan dengan baik. Sehingga dalam kehidupan
bermasyarakat kelihatan lebih “islami” daripada umat Islam yang berada di
negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang
mayoritas penduduknya beragaman Islam, maka nilai-nilai keislaman yang
seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga orientasi
kehidupan umat Islam semestinya tidak hanya mengarah pada kesalihan pribadi
dengan orientasi keakhiratan saja, melainkan harus menjaga keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat.
3.
Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Madjid menyadari bahwa pluralisme
internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia tidak dapat dihadang, bahkan
dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa pengembangan Islam di
Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang. Ia mengajukan gagasan
tentang perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan. Menurutnya, meskipun
nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaannya itu sendiri
menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural
masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam
kerangka konsep nation-state (negara bangsa).
Gagasan integrasi keislaman dan
keindonesiaan yang ditawarkan Madjid sejalan dengan konsep pribumisasi
Islam-nya Abdurrahman Wahid. Keduanya sebenarnya merupakan bentuk akulturasi
Islam terhadap budaya setempat. Dalam hal ini, Madjid menyatakan perlunya frame
of reference (kerangka referensi) yang jelas mengenai keindonesiaan. Dia merasa
optimis bahwa semangat nasionalitas adalah modal yang baik untuk mengarah pada
terwujudnya konvergensi nasional, yakni suatu bentuk saling pengertian yang
berakar dalam semangat untuk saling memberi dan menerima. Sikap untuk saling
memberi dan menerima itu bermuara pada kemantapan masing-masing kelompok,
golongan, maupun agama.
Dengan adanya integrasi keislaman dan
keindonesiaan bangsa Indonesia, Madjid optimis Indonesia siap menghadapi dan
menerima modernisasi. Modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya
guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal. Hal itu merupakan perintah Allah
yang imperatif dan mendasar. Modernisasi
berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hāq. Sunnatullah
telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk menjadi modern,
manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu
(perintah Allah). Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu
pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh
manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional.
4.
Penerimaan Terhadap Pancasila
Mengenai penerimaan Pancasila sebagai
ideologi umat Islam Indonesia, Madjid mengapresiasi peran besar dari NU dan
Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat diterima oleh umat Islam yang merupakan
penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana caranya untuk mengisi dan menjalankan
Pancasila secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah
sebuah ideologi terbuka, maka terbuka lebar kesempatan untuk semua kelompok
sosial guna mengambil bagian secara positif untuk mengisi dan melaksanakannya.
Madjid mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila
setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya dibenarkan
oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota kesepakatan antara berbagai
golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama.
Madjid membenarkan pernyataan Mohammad
Hatta, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang nilai-nilainya kelak
disebut Pancasila itu, yang merumuskan bahwa sila Ketuhanan Yanag Maha Esa
adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan
manusia. Begitu pula pendapat Hamka yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha
Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi Pancasila dan sila apapun dalam
kehidupan manusia. Ketuhanan atau tauhid
itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban
manusia dan menjadi intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi.
Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut adanya negara Islam, karena yang
terpenting adalah substansinya, bukan bentuk formalnya. Dia lebih setuju
terhadap konsep dan eksistensi negara nasional, dalam hal ini negara pancasila.
Pendapat Madjid tersebut merupakan
perwujudan dari cara berfikirnya yang moderat. Pengalaman dari beberapa negara
yang berusaha mendirikan negara Islam memberikan pelajaran bahwa konsep
tersebut hanya akan mengecilkan dan mempersempit peranan Islam sendiri sebagai
sebuah sistem nilai. Perdebatan mengenai penerimaan Pancasila seharusnya sudah
dianggap selesai pada saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Apalagi
nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan
nilai-nilai yang dikembangkan dalam Islam.
5. Islam Yes, Partai Islam No!
Mangenai peranan umat Islam dalam
bidang politik, Madjid mengetengahkan pendapat “Islam yes, partai Islam no!”.
Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide tersebut sudah tidak
menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi
absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai Islam
yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan bahkan yang
terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat Islam yang melakukan
korupsi. Madjid tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik.
Baginya yang terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada ini menjadi
lebih Islami dengan pendekatan-pendekatan kultural yang bisa dilakukan.
Sebagaimana telah diketahui, partai
Islam yang bermunculan setelah Indonesia merdeka. Partai-partai tersebut
bertarung pada pemilu tahun 1955 dan banyak yang mengalami kegagalan. Hingga
akhirnya pada masa Suharto partai-partai tersebut difusikan dalam satu partai,
yaitu PPP. Setelah terbukanya pintu reformasi, partai Islam bermunculan
kembali, namun tetap kalah oleh partai nasionalis. Posisi yang lebih baik
diterima oleh PKB dan PAN yang menggunakan Pancasila sebagai ideologi
partainya. Meskipun di satu sisi keduanya diuntungkan dengan adanya basis massa
yang besar (NU dan Muhammadiyah), namun di sisi lain penggunaan ideologi
Pancasila pada dua partai tersebut menunjukkan sikap terbuka keduanya dalam
menyikapi keberagaman Indonesia.
6. Sekularisasi bukan Sekularisme
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid
yang mendapatkan banyak reaksi keras adalah tentang sekularisasi. Madjid
mengatakan bahwa Sekularisasi yang dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk
penerapan sekularisme. Menurutnya, yang
dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating development.
Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam dalam perjalanan sejarahnya
tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka Islami, mana yang
transendental dan mana yang sifatnya temporal. Oleh karena itu, sekularisasi
harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan yang membebaskan, yang
menginginkan umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme
Islam dengan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Relevan pula dengan fungsi mereka
sebagai khalifah Allah di atas bumi.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan
sebagai penerapan sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis. Tetapi
dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi
dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan
demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di
hadapan kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun historis, menjadi sifat
kaum muslimin. Mengenai banyaknya sikap
kontra terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak pernah
menganjurkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.
Sekularisasi
yang dimaksud di atas tampaknya mengarah kepada ketelitian dan kecerdasan kaum
Muslim dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu
membedakan mana urusan dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat
berfikir secara bebas dan kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam
untuk mampu berijtihad dalam mengatasi permasalahan-pe Sekularisasi tidaklah
dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah
ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi
sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk
perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat
Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan
nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang
temporal.
Dari penegasan tersebut, nampaknya
Nurcholis Madjid ingin menjelaskan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme
merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” cenderung kepada sebuah proses,
dan “sekularisme” dengan isme-nya merupakan bentuk kepercayaan yang dianggap
sebagai padanan agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia,
sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam prosesnya berusaha
melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Dengan
mengutip pandapat Talcoot Parson, Nurcholis Madjid menunjukkan bahwa
sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan
pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek
kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma dan
nilai kemasyarakatan.
Penegasan lebih jelas tentang penggunaan
istilah sekularisasi, Nurcholis Madjid mengatakan;
Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan
sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis.
Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya
duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan
menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material,
moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi
dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas dunawi manusia sebagai “khalifah
Allah di bumi”. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya
kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan
tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini.
Secara sosiologis, sekularisasi adalah
manifestasi pandangan manusia sebagai khalifah Allah. Dunia dan alam diserahkan
kepada kebebasan dan tanggungjawab manusia, untuk di manfaatkan. Maka seperti
yang di katakan Nurcholis Madjid, sekularisasi adalah pembebasan dari asuhan
agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan
pengertian, tidak sekedar konfensional belaka.
Dalam
hal penggunaan istilah sekularisasi diatas, Nurcholis Madjid seakan ingin
memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya membedakan agama dan paham
keagamaan. Menurut Nurcholis Madjid, agama dan paham keagamaan adalah sesuatu
yang berbeda. Agama adalah sesuatu yang mutlak karena berasal dari Tuhan, yang
maha mutlak, tetapi pemahaman keagamaan, cara manusia memahami agama tersebut
terdapat unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan daya dan kemampuan manusia
untuk melaksanakannya. Daya dan kemampuan manusia adalah bernilai manusiawi,
karena ia berada pada diri manusia itu sendiri.
Pemahaman keagamaan menurut Nurcholis
Madjid lahir dari pada usaha-usaha keras (ijtihad) manusia terhadap pesan-pesan
yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan adanya intervensi
manusia dalam mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri,
oleh Nurcholis Madjid tidak boleh disaklarkan, sehingga diperlukan secara
kontinyu usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang telah hilang
di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk memahami kembali pesan-pesan
agama.
Matinya ilmu pengetahuan dalam Islam
menurut Nurcholis Madjid adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan
ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya
dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang
kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri
dengan menutup sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid
kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada, yang berakibat
mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum Muslim.
Dalam hubungan ini, dapatlah kita
mengerti mengapa Nurcholis Madjid menyesalkan keputusan para pemuka Islam untuk
menutup pintu ijtihad. Sehingga yang terjadi ialah umat Islam kehilangan
kreatifitas dalam kehidupan duniawi, dan mengesankan seolah-olah mereka telah
memilih untuk tidak berbuat, dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat
ijtihad.
Umat
Islam sekarang, menurut Nurcholis Madjid cenderung memahami Islam hanya dari
satu sisi ilmu tradisional Islam saja, yakni ilmu fiqih yang hanya membidangi
segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat
eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sementara ilmu-ilmu tradisional Islam
lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih kalah mendalam dan meluas.
Nampaknya Nurcholis Madjid menginginkan
umat Islam tidak secara parsial memahami Islam dengan hanya menakankan pada
masalah fiqhiyah. Apalagi fiqih itu sendiri tak lebih merupakan usaha-usaha
ulama dalam mengkontektualisaikan ajaran Islam. Secara logis karena ulama itu
sendiri adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari
sifat kemanuisaannya, dan tak pantas dianggap absolut. Karena mengabsolutkan
pikiran ulama – sama artinya mengobsolutkan sesuatu selain Tuhan – secara
theologis bisa berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha absolut.
7.
Peranan Umat Islam
Mengenai peranan yang harus dimainkan
umat Islam di Indonesia, menurut Madjid terpusat pada tiga hal, yaitu: Pertama,
mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipandang
sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh masyarakat. Kedua, Mengembangkan
pemahaman terhadap agama Islam sebagai sumber kesadaran makna hidup yang
tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan dinamis. Ketiga,
mengembangkan prasarana sosio-kultural untuk mendukung proses pembangunan
menuju masyarakat industri yang maju. Hal ini harus dijadikan pemahaman
keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan proses saling menguatkan antara
agama dan masyarakat.
Madjid menegaskan pendiriannya bahwa
Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka dan demokratis. Sehingga Pancasila
harus dapat difahami secara benar agar tidak berubah menjadi rumusan-rumusan
dogma yang mati dan kaku. Sikap yang tepat terhadap Pancasila akan menutup
kesenjangan antara konsep keumatan dan kenegaraan, khususnya karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam. Dengan hilangnya kesenjangan, maka dapat diharapkan
pada diri umat Islam rasa ikut memiliki Indonesia sepenuhnya. Kondisi ini
selanjutnya akan melandasi perkembangan hubungan antara Islam dengan Indonesia,
yaitu bahwa keislaman adalah keindonesiaan dan keindonesiaan adalah sebagian
besar keislaman.
Keparalelan keislaman dengan
keindonesiaan, menurut Madjid secara lebih lanjut mengisyaratkan pengakuan akan
absahnya pandangan yang melihat perlunya membuat interpretasi - jika bukan
adaptasi - ajaran-ajaran universal Islam untuk memenuhi tuntutan-tuntutan nyata
Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia akan menjurus menjadi
sebuah “negara santri.” Ini tidak berarti Pancasila akan terhapus atau
terganti, akan tetapi nilai-nilai Pancasila akan mengejawantah dalam bentuk
inlai-nilai kesantrian yang kosmopolit dan nasional.
Menurut
Madjid, Islam adalah agama yang partikular dan universal. Di satu pihak Islam
bersifat universal yang terbebas dari pengaruh budaya lokal. Di pihak lain,
Islam harus hadir di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia
terbungkus oleh budaya-budaya setempat. Ajaran Islam yang universal hanya bisa
ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia
menjadi bentuk dalam pengertian budaya. Dalam pengertian budaya inilah Islam
dapat muncul dalam berbagai warna dan corak.
Dengan demikian, integrasi antara
keislaman dan keindonesiaan akan dapat terwujud jika umat Islam mampu memaknai
dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu sebenarnya tidak sulit untuk
diwujudkan karena pada dasarnya
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang masuk dengan
damai dan melalui proses dialogis dengan budaya yang ada di Indonesia, yang
banyak di antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam pada dasarnya
sudah berakulturasi dan mengakar dalam budaya Indonesia jauh sebelum
kemerdekanaan. Sehingga momentum kebebasan dan demokrasi yang berkembang
setelah jatuhnya Suharto seharusnya dapat dimanfaatkan oleh umat Islam untuk
semakin mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam kehidupan masyarakat
modern.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nurcholis yang modern, berawal dari
pendidikannya di Amerika. Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang berakhir
pada implementasi nilai-nilai Barat yang ia adopsi dari Robert N. Bellah dan
Harvey Cox. Sementara asal usul gagasan sekularisasi dikerenakan evolusi agama
Kristen yang bertransisi menuju rasionalisasi agama karena konflik konsep tuhan
dan hidup mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan
dalam kehidupan sosial melahirkan
sekularisasi, inklusifisme dan pluralisme dalam Islam yang modern. Padahal
penurut para salafi semua itu merupakan bid’ah dalam Islam yang harus
dihapuskan, karena berpaling dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan
pengatur kehidupan duniawi.
Tapi dalam hal semua ini para pembaru
islam menginginkan agar umat islam bisa berkembang dan maju dalam kondisi zaman
yang berubah yakni zaman modern (era
globalisasi) saat ini, maka dari itu perlu adanya rasionalisasi dalam memahami
ajaran-ajaran islam yang sesuai ataupun yang relevan dalam perkembangan manusia
sekarang dalam kata lain perlu adanya pemahaman kontekstual sesuai dengan
perkembangan manusia dan zaman agar dapat mudah diterima. Tetapi nilai-nilai
islam tetap diutamakan dan jangan ditinggalkan. Dan keinginan membangun kembali
khazanah-khazanah keilmuan yang dulu pernah dicapai oleh para ulama terdahulu.
B.
Saran dan Rekomendasi
Semua pemikiran tokoh pembaruan islam
khususnya dalam makalah ini pemikiran Nurcholis Madjid menujukkan agar umat
islam bisa lebih maju dan bisa menerima hal yang rasional untuk menghadapi
perkembangan manusia dan zaman pada saat ini, tapi yang perlu kita garis bawahi
apa yang telah dituangkan oleh para tokoh pembaru islam atau gagasan-gagasan
yang telah mereka buat harus bisa kita filter dan kritisi tidak semata-semata
harus kita telaah semua atau kita sepakati semua apa pendapat mereka, dalam
kata lain kita harus bisa mengambil hal
yang baik,(secara rasionalis dan agamis), ataupun sesuai dengan nilai-nilai
islam, seperti halnya semangat mereka dalam perubahan menuju yang lebih baik.
Dan mengembalikan peran manusia dibumi
sebagai kholifa fil ardi, dan mengambil kembali Keilmuan-keilmuan yang telah diukir oleh
ulama-ulama terdahulu, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan itu yang membuat
zaman ini berkembang.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Halim,
Abdul, Editor, Menembus Batas Tradisi, Manuju Masa Depan Yang Membebaskan,
Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, Penerbit; Buku Kompas, Jakarta,
Cet; II, Oktober 2006.
Madjid,
Nurcholis, Islam Doktirn dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentag Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodrenan, Penerbit; Yayasan Wakaf Paramadina,
Jakarta, Cet; I, 1992.
Adnin
Armas, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal
Tsaqafah
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume
4,
No.2, Jumadal Ula 1428).
Abdul
Qodir, M.Ag, Jejak Langkah Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Pelajar, 2004), hal. 105-107.
Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Cet. 6
(Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1988), 11-12.
http://rizemweb.blogspot.com/2008/03/membumikan-teologi-inklusif-oleh-rizem.html.
http://www.gaulislam.com/konsep-civil-society-dalam-perspektif-islam-sebuah-tinjaun-ideologis.html.
http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/06/konsep-dasar-gerakan-pembaharuan-dalam.html.
0 komentar:
Posting Komentar