Jumat, 01 Maret 2013

Aku Lebih Baik dari Dia





Suatu hari, Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Hai Musa, bila nanti kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih baik daripada dia.” Nabi Musa as lalu pergi ke mana-mana; ke jalanan, pasar, dan tempat-tempat ibadat. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi Musa, tetapi Nabi Musa selalu menemukan ada hal pada diri orang itu yang lebih baik dari dirinya. Nabi Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata, “Aku lebih baik dari dia.”

Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada Nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak, misalnya, bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing kudisan. Nabi Musa berpikir, “Mungkin sebaiknya aku pergi membawa dia.” Ia pun lalu mengikat leher anjing itu dengan tali. Namun ketika sampai ke suatu tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu.

Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah swt, Tuhan bertanya, “Ya Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kaubawa?” Nabi Musa menjawab, “Tuhanku, aku tidak menemukan seseorang pun yang aku lebih baik darinya.” Tuhan lalu berfirman, “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepadaku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian.”

Kata ana khairun minhu atau “Aku lebih baik dari dia” pertama kali diucapkan oleh Iblis untuk menunjukkan ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud kepada Adam as tapi Iblis tidak mau. Ia beralasan, “Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah.” Takabur yang dilakukan oleh Iblis pertama kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan.

Menurut Al-Ghazali, di antara beberapa faktor yang menyebabkan orang menjadi takabur dan berfikir, “Aku lebih baik dari dia,” adalah nasab. Iblis adalah tokoh takabur karena nasab yang paling awal. Kebanggaan atau kesombongan karena nasab ini pernah menjadi satu sistem dalam masyarakat feodal. Feodalisme adalah sistem kemasyarakatan yang membagi masyarakat berdasarkan keturunannya. Sebagian masyarakat disebut berdarah biru dan sebagian lagi berdarah merah.

Ada sebuah buku yang dengan secara terperinci mengkritik sebagian sayyid atau keturunan Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih utama dari orang yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika ada orang bukan sayyid yang beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan tetap lebih rendah dari seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis buku tersebut, seorang sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang sayyid yang ahmaq atau tolol. Dalam salah satu buku itu, ia memberikan contoh sayyid yang berpikiran seperti itu sebagai orang yang takabur karena nasabnya. Ternyata, penulis buku itu pun adalah seorang sayyid. Namanya Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.#

Penulis itu mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia pernah menangis terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani mendekatinya dan bertanya, “Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat seperti ini? Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?” Lalu Imam dengan marah menjawab, “Jangan sebut-sebut di hadapanku ibuku dan kakekku, karena Allah swt akan memberikan surga kepada siapa saja yang taat kepada-Nya, walaupun ia adalah seorang budak dari Afrika. Dan Allah akan memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid dari bangsa Quraisy.”

Berbangga sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu perbuatan takabur, apalagi berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah saw. Orang yang berbangga karena keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah seperti orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh takabur. Orang kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke neraka.

Kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab. Tuhan berfirman, “Innâ akramakum ‘indallâhi atqâkum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujrat 13 ) Pernah pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah saw dengan membanggakan nasabnya. Di kalangan masyarakat Arab waktu itu, kebanggaan suatu nasab didasarkan pada jumlah jasa yang dilakukan nasab itu. Karena itu, mereka sering menyebut-nyebut jasa orang tua mereka. Orang itu memperkenalkan dirinya dengan menyebut silsilah orang tuanya sampai keturunan kesembilan. Rasulullah saw hanya menjawab pendek, “Wa anta ‘âsyiruhum fin nâr. Dan engkau, keturunan yang kesepuluh, di neraka.” Ia masuk neraka karena ketakaburannya.
Ketika berhadapan dengan orang yang takabur karena nasabnya, yang membanggakan kehebatan orang tuanya, Sayidina Ali berkata, “Ucapan kamu benar. Tapi alangkah jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu.”

Al-Ghazali membagi takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan agama dan kedua, takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, yang banyak takabur karena ilmu adalah para ilmuwan, filusuf, dan ulama. Apa tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya? Ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia merasa dirinya paling pintar dan tidak memerlukan bantuan orang lain.
Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua orang yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya luar biasa pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang lain lulus dengan nilai pas-pasan.

Dua tahun kemudian, diselidiki nasib kedua orang itu. Orang yang pintar itu ternyata menganggur sementara orang yang tidak pintar telah menjadi manajer di sebuah perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata orang pintar itu tidak tahan bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merasa dirinya pintar sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain.

Takabur yang kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal. Jika seseorang banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah hadis diriwayatkan seseorang yang datang ke majelis Nabi. Orang itu dipuji para sahabat karena kebagusan ibadatnya.

Tapi Nabi mengatakan, “Aku melihat bekas tamparan setan di wajahnya.” Nabi kemudian menyuruh sahabat membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik di antara orang lain. Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika ada seseorang yang berkata, ‘Manusia ini semuanya sudah rusak,’(dan ia merasa bahwa hanya dirinya yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang paling rusak.”

Ada orang yang merasa amalnya sudah bagus sehingga dia merendahkan orang lain. Ada juga orang yang merasa dirinya amat saleh dan segera menganggap rendah orang lain yang tidak salat berjemaah di masjid seperti dirinya. Ia pun mengecam orang lain yang salatnya dijamak. Orang-orang seperti itu termasuk orang yang takabur karena amalnya.

Sayidina Ali mengajarkan kepada para pengikutnya, “Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu:

Pasti amalnya lebih banyak dari amalku." Setiap orang pasti ada kelebihannya. Kita juga punya kelebihan, tetapi hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia daripada orang lain. Begitu kita merasa diri kita lebih mulia dari orang lain dan ingin diperlakukan sebagai orang mulia secara diskriminatif, kita sudah jatuh kepada takabur. Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal.

Takabur bagian kedua menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena nasab, seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena harta kekayaan. Ketiga, karena kekuasaan. Keempat, karena kecantikan. Kelima, karena banyaknya anak buah dan pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya diderita oleh para ulama.

Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi.” Kita dapat mengukur hati kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: Ketika Anda masuk ke dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara dengan Anda duduk di tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat yang lebih rendah, apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Ketika Anda akan memilih menantu dan memperhatikan keturunan calon menantu itu, lalu ternyata keturunannya tidak sebanding dengan Anda, apakah Anda merasa berat menerimanya? Apakah Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada Anda? Apakah Anda merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab “ya” untuk salah satu dari pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam takabur.

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda, “Pastilah orang yang takabur itu punya cacat dalam dirinya yang ia sembunyikan.” Hadis itu saya kira sangat modern. Menurut Psikologi mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya adalah orang yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan mereka berusaha menutupinya.

Kita dapat mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap tawadhu. Tidak ada obat bagi takabur selain bersikap rendah hati. Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap tawadhu, maka hendaklah kamu bersikap lebih tawadhu lagi kepada mereka. Dan apabila kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap takabur, maka hendaklah kamu bersikap lebih takabur lagi kepada mereka.”


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More